Friday, March 8, 2013



Jakarta - Krisis harga daging sapi yang terjadi di Indonesia membuat berbagai pihak angkat bicara. Krisis harga daging ini dikhawatirkan mempengaruhi konsumsi daging perkapita orang Indonesia.

Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Oesman Sapta Odang menurutnya masalah ini sangat mengerikan dan membayangkan. Menurutnya masalah daging sapi bisa lebih berbahaya dari narkoba dan teroris.

"Ini mengerikan bayangkan dari 200 negara, kita (Indonesia) posisi nomor 5 paling jelek dalam pemanfaatan gizi. Ini lebih kejam dari Narkoba dan teroris terutama untuk anak cucu kita," jelas Oesman dalam diskusi carut marut masalah daging di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Rabu (6/3/2013).

Bos OSO Group ini mengatakan harga daging sapi di dalam negeri mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan tidak wajar. Sebelum hari raya Idul Fitri 2012 harga daging masih berada pada posisi Rp 76.000/kg sedangkan sesudah Idul Fitri harga daging sudah mencapai Rp 100.000/kg.

"Daging pada waktu itu sebelum hari raya masih Rp 76.000 setelah masuk hari raya sudah Rp 100.000/kg," tuturnya.

Ia juga menyalahkan pemerintah yang sampai saat ini masih melakukan importasi daging sapi hanya dari Australia dan Selandia Baru karena berbasis country based bukan zone based, untuk menghindari penyakit mulut dan kuku (PMK). Padahal menurutnya sistem ini bisa mengakibatkan monopoli pasar di mana pasar daging di Indonesia bisa dipermainkan.

"Alasan UU No 18/89 itu yang lalu karena Brazil itu punya penyakit mulut (PMK). Sekarang kita hanya 1 pintu yang sifatnya monopoli atau country base yang hanya bisa mendatangkan dari Australia dan Selandia Baru. Brazil sekarang sudah tidak ada penyakit mulut dan sekarang mereka sudah ekspor ke Amerika dan Arab. Bayangkan Arab saja mengimpor sapi 100% dari Brazil," cetusnya.

No comments:

Post a Comment